Multikulturalisme Sepakbola

Multikulturalisme Sepakbola

Loading

Ngkiong.com-Liverpool telah dikukuhkan sebagai juara liga Inggris. Ketika pertandingan masih menyisahkan tujuh laga, klub kota Merseyside tersebut sudah berhasil mengunci gelar juara. Mereka berhasil mencatat rekor dengan menjadi klub tercepat sepanjang sejarah liga Inggris dalam meraih juara. Penantian selama 30 tahun akhirnya terjawab. 30 tahun itu waktu yang lama; kalau dalam konteks kepresidenan Indonesia, waktu tersebut sama dengan 6 periode. Meski begitu, usia puasa mereka bukanlah yang terlama jika dibandingkan dengan tim besar Inggris lainnya; City 44 tahun, Chelsea 49 tahun, Totenham 58 tahun, dan MU 41 tahun.

Liverpool memang luar biasa dua musim terakhir. Tahun lalu mereka meraih treble (tiga trofi) internasional. Peristiwa dua tahun terakhir membungkam banyak celah yang biasa dijadikan sebagai bahan cemoohan pendukung lawan. Klop dan tim ini seperti menyadarkan: membangun sesuatu terkadang butuh waktu yang lama. Kita harus tetap setia pada proses.

Dari Liverpool dan sepakbola kita bisa belajar tentang kehidupan. Sepakbola merupakan permainan universal yang menembus batas-batas golongan, kelas sosial, suku, agama, ras, dan gender. Ia menyuguhkan banyak pesan dan nilai kehidupan. Sepakbola membuka mata dan menggugah nilai semisal: semangat perjuangan, kerja sama, kerja keras, kerja cerdas, sportivitas, keteraturan, ketelitian, totalitas, loyalitas, solidaritas, kedisiplinan, dan lain sebagainya.

Baca juga: Diskriminasi Tangan Kiri

Selain beberapa hal di atas, salah satu hal yang dapat dipetik dari sepakbola ialah tentang multikulturalisme. Multikulturalisme tentu menjadi hal urgen untuk dibicarakan. Multikulturalisme merupakan suatu pandangan yang mengakui dan menjunjung tinggi perbedaan kultural yang ada. Multikulturalisme bukan sekadar sebuah paham, lebih dari itu ia merupakan sebuah gerakan dan komitmen bersama untuk membangun komunitas masyarakat yang mampu hidup bersama di tengah kemajemukan yang ada. Kemajemukan merupakan sebuah keniscayaan; perbedaan ialah hal yang lumrah karena setiap orang terlahir dari latar belakang yang berbeda.

Beberapa fenomena sosial di sekitar kita memperlihatkan lemahnya sikap kita untuk menghargai dan menerima perbedaan. Hal-hal semacam perbedaan kebiasaan, suku, agama, dan ras masih menjadi komoditas yang menjadi pemicu konflik sosial. Dalam skala global, kasus George Floyd yang memicu lahirnya demonstrasi besar-besaran di berbagai kota besar dunia merupakan salah satu contoh yang dapat kita pakai sebagai cerminan bagaimana sikap kita dalam menanggapi keberagaman ras yang ada.

Dalam skala nasional kita tentu tidak asing dengan permainan isu SARA. Sentimen terhadap suku tertentu, kebencian terhadap ras tertentu, stigma negatif terhadap kelompok masyarakat tertentu, pelarangan pembangunan rumah ibadah, pelarangan aktivitas keagamaan, dan lain sebagainya merupakan bentuk nyata betapa lemahnya kita dalam menghargai dan menerima perbedaan yang ada. Masih ada begitu banyak contoh lain baik dalam skala global maupun nasional yang dapat kita jadikan sebagai acuan tentang bagaimana kita menanggapi perbedaan yang ada.

Dari sepakbola kita bisa belajar tentang multikulturalisme. Liverpool merupakan salah satu tim multikultural yang dapat kita jadikan sebagai mata air tempat kita menimba sikap menghargai perbedaan.  Liverpool merupakan sebuah tim yang plural; ia dibangun oleh banyak individu yang lahir dari latar belakang berbeda. Pluralitas itulah yang menjadikan komposisi tim kaya akan karakter; setiap pemain bermain dengan gaya dan cara yang beraneka ragam.

Liverpool merupakan sebuah sistem; sama halnya dengan sebuah instansi, lembaga, badan, komunitas, atau juga negara. Ia bukanlah unit seragam yang dapat berdiri sendiri; ia sesuatu yang terbentuk dari potongan bagian-bagian yang beragam. Potongan itu bisa berupa agama, potongan ras, potongan warna kulit, maupun potongan kewarganegaraan.

Baca juga: Ender Tin

Setiap potongan bagian saling terkait dan terikat satu sama lain; saling menunjang sekaligus mempengaruhi kinerja tim secara keseluruhan. Pergerakan tim bergantung pada semua elemen yang ada; artinya jika satu bagian mati maka kinerja sistem secara keseluruhan akan terganggu. Dari tim ini, kita menyadari dalam perbedaan tiap orang bisa berkontribusi positif demi kemajuan bersama. Bagaimana jadinya tim ini jika mereka sibuk memperdebatkan perbedaan ras, suku, dan agamanya?

Ujung tombak dan mesin gol utama Liverpool ialah Sadio Mane dan Mohamad Salah. Mane, merupakan manusia hitam dari Afrika yang beragama islam. Ia dicintai oleh Kopites (pendukung Liverpool) dan menjadi bagian penting dari tim. Mane, muslim taat yang bersahaja menjadikan stigma negatif tentang bangsa kulit hitam seperti terhapus dalam seketika.

Sementara, Salah pendatang lain dari Afrika menurunkan sentimen terhadap agama Islam di Inggris. Pemain lain Keita dan Shaqiri juga beragama Islam. Dalam tim, agama tak pernah menjadi masalah. Setiap orang yang menjadi bagian dari tim dicintai tanpa adanya sekat ras, suku, dan agama. Agama hanyalah jalan; lebih jauh manusia dan kemanusianlah yang paling tinggi.

Berbicara mengenai kulit hitam, pemain lain yang berkulit hitam ialah Wijnaldum, Keita, dan Origi. Mereka berkulit hitam, namun menjadi bagian penting dari tim. Wijnaldum dan Keita merupakan gelandang serang yang handal sementara Origi ialah pemain (pengganti) yang kerap mencetak gol-gol penting; brace di semi final melawan Barcelona dan laga final melawan Totenham merupakan salah dua contohnya. Apalah artinya memperdebatkan warna dan mengagung-agungkan warna putih, bukankah hidup menjadi indah karena ia berwarna-warni?

Baca juga: Bagaimana Kita Bisa Menulis?

Dari segi latar belakang negara, tim ini dibangun dari latar belakang yang berbeda. Meski berkedudukan di Inggris, secara garis besar tim inti diisi oleh pemain yang bukan berkebangsaan Inggris. Pemain Inggris yang menjadi starting eleven biasanya tak lebih dari seperempat tim. Paling-paling Alexander Arnold, Henderson, dan Milner; itu pun Henderson dan Milner tak selalu diturunkan bersama. Gomes dan Lallana memang berdarah Inggris namun lebih sering menjadi penghangat bangku cadangan.

Tiga pemain inti lain berdarah Brazil: Firmino, Fabinho, dan Alison Becker. Dua pemain inti yang juga sulit digantikan berasal dari negeri kincir angin: Wijnaldum dan Van Dijk. Ujung tombak dan mesin gol utama mereka berasal dari Afrika: Mane dari Senegal dan Salah dari Mesir. Minamino, pendatang baru dari Asia; Robertson, sayap kiri dari Skotlandia; sementara pemain yang lainnya masing-masing berasal dari negara-negara Eropa dan Afrika.

Dalam tim tak ada ego pribumi-pendatang, tak ada sentimen asli-imigran. Semua orang bekerja sama dan fokus pada visi misi tim dan tak pernah peduli pada asal usul pemain yang satu dengan yang lainnya; tak seperti kehidupan berbangsa dan bernegara di tempat ini, Indonesia. Dalam banyak hal, kita memang terlampau sibuk mempersoalkan perbedaan hingga kita lupa untuk melangkah maju, lupa dengan apa yang menjadi cita-cita bersama.

Begitulah, sepakbola memberikan banyak pesan dan nilai kehidupan. Dari Liverpool yang multikultural kita belajar tentang multikulturalisme, sebuah seni menghargai dan menerima perbedaan; sementara dari lucu-lucuan setan merah di beberapa musim belakangan kita belajar uang bukanlah segala-galanya. Ehh!?

Ichan Lagur*

Bagikan Artikel ini

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Google Analytics Stats

generated by GAINWP