Ngkiong.com– Bertahun-tahun kita sering mendengar kampanye tentang gender atau hak kesetaraan gender. Hampir di semua perguruan tinggi pasti akan membahas hal ini. Kita memang sepakat bahwa manusia diciptakan setara, tidak ada yang lebih tinggi dan tidak ada yang lebih rendah. Hanya satu hal yang kita lupa, bahwa diskriminasi bukan hanya terjadi antara manusia (perempuan dan laki-laki) tetapi juga terjadi antara organ tubuh. Salah satunya adalah diskriminasi antara tangan kanan dan tangan kiri.
Suatu hari, hanya karena saya menerima uang dari paman menggunakan tangan kiri, ibu saya mengira bahwa dia telah gagal sebagai orang tua dalam mendidik anak. Ini adalah diskriminasi terhadap tangan yang saya alami pertama dan telah mengganggu tumbuh kembang saya sebagai manusia yang bebas. Kebiasaan saya menggunakan tangan kiri berdampak pada hobi saya yang sangat suka membaca puisi dan hal-hal seni. Orang tua menganggap saya bodoh hanya karena saya suka dengan dunia seni dibandingkan dunia eksata.
Dalam ilmu neorologi, hobi atau kebiasaan yang dominan itu ditentukan oleh otak kanan dan kiri. Kedudukan otak kanan dan kiri pada dasarnya sama, hanya fungsi yang membedakannya. Belahan otak kiri mengendalikan otot-otot bagian kanan dan sangat dominan dalam dunia matematika atau ilmu hitung. Sedangkan otak kanan mengendalikan otot-otot bagian kiri dan sangat dominan dalam dunia seni atau bahasa. Kedua belahan otak ini saling terhubung dengan anggota tubuh, artinya kerusakan pada satu sisi otak akan berpengaruh pada tubuh yang lain.
Saya adalah salah satu manusia yang dianugerahi Tuhan dengan ciri khas yang berbeda dengan kebanyakan manusia lain. Salah satu perbedaan yang paling nyata adalah tangan dan kaki. Jika kebanyakan manusia, saat melakukan aktivitas sering menggunakan tangan kanan, maka saya berbeda. Saya lebih ringan menggunakan tangan kiri (kidal) saat melakukan aktivitas. Misalnya saat menulis, makan, memotong kayu, atau bahkan saat cebok ketika selesai boker.
Baca Juga: Bona Jemarut: Didi Kempot-nya Manggarai

Di sekolah saya menjadi salah satu pemain bola kaki yang tak tergantikan di tim utama. Posisi saya juga tidak main-main yaitu sebagai sayap kiri. Bukan karena saya hebat mengolah si kulit bundar, tetapi di sekolah, hanya beberapa orang saja yang bermain bola dengan kaki kiri. Saya dipilih karena beberapa faktor. Pertama, karena saya badan besar; kedua, karena saya kaka kelas; dan ketiga, karena saya bermain dan mengolah si kulit bundar menggunakan kaki kiri.
Saking seringnya saya beraktivitas menggunakan tangan kiri, pernah sekali guru memaksa saya menulis menggunakan tangan kanan. Alasanya sederhana, dia tidak mau saya terbiasa menggunakan tangan setan untuk menulis. Saya tahu dan paham bahwa saya terbiasa menggunakan tangan kiri saat menulis namun karena paksaan dan karena takut dengan guru tersebut, saya mengikutinya. Karena hal tersebut, saya menjadi berat dan lambat saat menulis. Begitulah, dalam banyak hal dan situasi, manusia mengalami proses penyeragaman melalui standar sosial yang dibangun; padahal kita lupa bahwa kita bermakna karena berbeda.
Sejak kejadian itu, dengan berat hati saya memutuskan bahwa mulai sekarang setiap aktivitas saya menggunakan tangan kiri, hal itu juga saya sampaikan ke tangan kanan. Kalau pun misalnya tangan kiri membutuhkan bantuan tangan kanan, tangan kanan bersedia untuk membantu. Itu adalah kesepakatan yang bijak antara saya, tangan kiri, dan tangan kanan.
Namun kesepakatan itu menjadi bencana setelah pihak luar mengintervensi saya dan kedua tangan saya. Pernah sekali, ketika saya makan siang bersama kedua orang tua, kebetulan saat itu kami kedatangan tamu dari kampung. Saat sedang asyik makan, ayah tiba-tiba menegur saya dengan keras.
“Andre kalau makan yang sopan!” kata ayah dengan tatapan mata melotot.
Saat itu saya bingung kemudian memperhatikan posisi duduk dan durasi makan saya. Saya merasa bahwa saya duduk dengan posisi yang sangat sopan dan juga tidak terlihat rakus.
“Ndre, kalau makan jangan pakai tangan setan, makan pakai tangan Tuhan.” kata ibu pelan.
Saya diam dan akhirnya makan menggunakan tangan kanan, nafsu makan saya tiba-tiba hilang dan waktu yang saya gunakan untuk makan jadi lebih lama.
Wooooyyyy, kalian kenapa sih? Apakah ada sejarah/pertistiwa bahwa setan pernah menakuti manusia pakai tangan kiri? Atau, apakah saat kalian menyakiti orang lain harus menggunakan tangan kiri? Bukannya saya pembangkang atau anak durhaka, tetapi ini benar-benar keterlaluan. Mereka tidak pernah berpikir bagaimana perasaan tangan kiri dan tangan kanan saya.
Apa mereka tahu, bahwa tangan kanan saya tidak bisa berbuat banyak atau mereka tidak berpikir bahwa kalimat mereka telah membuat tangan kiri saya malu?
Baca Juga:Ender Tin
Okelah, mungkin karena kami penganut agama katolik tulen yang dalam doanya pada salah satu kalimat berbunyi,“Semoga arwah orang yang meninggal diterima di sisi kanan Bapa Yang Mahakuasa”. Dan mengartikan doa tersebut sebagai orang baik dan orang jahat; tempat yang baik di kanan otomatis di kiri orang jahat.
Atau mungkin karena perbedaan otak tadi, otak kiri dianggap pintar karena mahir ilmu hitung-hitungan. Sebab orang tua saya orang yang memiliki pemikiran yang konvensional. Sehebat apapun saya melukis atau menulis tetap dianggap bodoh ketika tidak bisa menghitung simpangan baku atau logaritma (matematika). Sehingga mereka memaksa saya untuk bisa menggunakan tangan kanan saya agar bisa memaksimalkan potensi otak kiri saya yang berkaitan dengan ilmu hitung-hitungan tadi.
Tetapi tidak perlu diskriminasi, atau mungkin orang tua saya berpikir bahwa hanya tangan kanan saya yang diciptakan Tuhan terus tangan kiri dipesan di toko online atau diciptakan oleh setan.Toh kalau saya mau mencari kebenaran, saya adakan hasil kesepakatan mereka? Atau bentuk saya sekarang tidak terlepas dari kedua orang tua saya. Kecuali kalau mereka terlibat cinta segitiga.
Sampai sekarang saya masih bingung, mengapa orang tua menganggap tangan kiri sebagai tangan setan dan tangan kanan sebagai tangan Tuhan atau tangan malaikat. Itu menjadi salah satu misteri di dunia yang belum ada jawabannya.*
Oleh : Arsy Juwandy*