Ngkiong.com — Para pembaca sekalian, apa yang Anda baca pada judul tulisan ini mungkin membangkitkan pertanyaan baru di benak kalian. Paling tidak pertanyaan yang muncul: mengapa sampai penulis memberi judul dengan sebuah pertanyaan? Bagi saya sebagai penulis, pertanyaan tersebut sebetulnya merupakan bentuk keresahan terhadap adanya keengganan saya dan mungkin kita semua dalam menulis. Saya tidak tahu apa jawaban pasti dari pertanyaan tersebut. Saya juga lebih tidak tahu apakah tulisan ini bisa menjawabnya. Saya hanya menggunakan kalimat itu sebagai penunjuk arah atau kompas agar coretan saya ini tidak liar alias meluber kemana-mana. Kenapa demikian? Yah, karena memang saya belum tau apa sebenarnya yang mau saya sampaikan dalam coretan ini. Kalau ditanya lagi kenapa? Karena saya memang belum punya ide. Hehehe. .
Pasti sudah ada yang mulai malas membaca kan? Jangan dulu lah, siapa tahu dalam baris atau alinea selanjutnya ada hal menarik yang mungkin bisa bermanfaat? Atau sama sekali tidak bermanfaaat, tidak apalah yang penting dibaca saja dulu.
Ketiadaan ide atau sering kawan-kawan saya menyebutnya sebagai mampet ide dalam menulis memang kerap saya rasakan; mungkin rekan-rekan pembaca juga merasakannya. Pertanyaannya adalah: mengapa sampai demikian? Apakah karena kita sama sekali bukan penulis?
Saya sering membaca tulisan-tulisan teman saya, tulisan-tulisan penulis terkenal di koran, majalah, buku, bahkan karya-karya penulis sastra ternama seperti Ayu Utami dan Pramoediya Ananta Toer. Ngomong-ngomong hanya karya dari dua penulis itu yang saya baca karena dulu dosen sering memberikan tugas kuliah untuk menganlisis karya-karya mereka. Cieh analisis. Hehehe. . Sebab lainnya adalah supaya dikira pembaca berkelas. Ya itu, baca-baca novel karya penulis besar padahal sampai hari ini saya belum paham isinya.
Baca juga: Perjalanan ke Yogyakarta: Sebuah Catatan
Ok, kita kembali ke masalah yang dibahas. Setelah membaca, hasil interpretasi saya adalah rasa kagum sekaligus iri terhadap penulis-penulis yang karyanya saya baca. Saya kagum terhadap isi pikiran mereka, saya kagum terhadap pengalaman-pengalaman mereka yang mereka lukiskan dengan begitu indah dalam tulisan mereka. Hasilnya kemudian adalah saya ingin sekali menjadi seperti mereka, saya mau menulis seperti mereka. Namun apa jadinya sampai saat ini belum ada hal yang bisa saya tulis dengan indah seperti yang saya impikan.
Saya pikir kenapa sampai saat ini saya dan mungkin banyak dari antara kalian enggan dan bahkan tidak ingin menulis?
Kita enggan untuk menulis itu karena kita terkadang terlalu terpaku pada apa yang sudah kita baca. Memang, ada hubungan kausalitas antara menulis dan membaca. Artinya siapa yang menulis dengan baik tentu ia sudah banyak membaca hal yang kualitasnya lebih baik dan itu menjadi acuan baginya dalam menulis. Yang sering menjadi masalah adalah: banyak di antara kita (termasuk saya) ingin langsung menjadi seperti penulis yang tulisannya baru kita baca. Misalkan kita sudah membaca beberapa karya Mas Pram. Ehh, Mas Pram lagi. Sudah lah ya, hanya itu contoh penulis yang bisa saya sebutkan, hehehe.. Ok, misalkan kita sudah membaca tulisan Mas Pram. Sesudah membaca tulisan beliau, kita langsung ingin menulis sesuatu yang sama persis. Kita langsung membayangkan bagaimana tulisan kita akan melejit sebagai best seller, kita langsung membayangkan bagaimana komentar di akun facebook atau media sosial kita: “Kaka keren tulisannya”, “luar biasa kaka, menyentuh sekali tulisannya, bisa ajar saya menulis ka?”, dan sebagainya, dan sebagainya.
Baca juga: Hasil yang Mengkhianati Proses
Pada saat itu kita sebetulnya lupa bahwa kita belum menyiapkan kertas atau pena untuk menulis. Kita juga lupa bahwa kualitas karya tulis seseorang itu bergantung pada bagaimana bacaan, pengalaman hidup, luas sempitnya ruang gerak, atau sedalam apa permenungannya terhadap situasi hidup dan situasi di sekitarnya. Semakin dangkal pengalaman hidup atau cara kita merefleksikan segala sesuatu, maka semakin dangkal pula ide atau permenungan kita untuk menulis. Ini interpretasi saya yah, bukan mutlak loh.
Jadi poin saya adalah: menulislah mulai dari hal-hal sederhana. Jangan langsung memaksakan diri agar ide kita diterima sebagai ide besar yang mengubah dunia. Atau paling sederhana jangan terlalu berharap agar tulisan kita dimuat di media masa dan dibaca banyak orang. Seperti saya, saya sama sekali belum punya ide untuk menulis, namun saya mencoba menceritakan kekosongan itu pada kalian. Sekali lagi tulisan ini adalah tulisan tentang kekosongan.
Teman-teman pembaca sekalian, saya tau kalian mungkin bosan membaca tulisan ini. Iya, karena memang tulisan ini hanya menceritakan tentang kekosongan ide. Tetapi mengakhiri tulisan ini, saya ingin mengatakan bahwa apa pun bisa menjadi tulisan. Mulai dari hal-hal luar biasa, cerita kehidupan yang menarik, kegembiraan hati, bahkan ketiadaan ide juga bisa dituangkan ke dalam bentuk tulisan. Jadi yang paling penting di sini sebenarnya adalah kemauan kita. Kalau kita mau pasti ada saja hal yang bisa ditulis.
Louis Mutu