Bona Jemarut: Didi Kempot-nya Manggarai

Bona Jemarut: Didi Kempot-nya Manggarai

Loading

ngkiong.com – Suatu sore di depan teras, saya duduk dan menikmati kopi bersama sebuah lagu dari musisi lokal, Bona Jemarut. Lagu-lagunya yang sendu membawa ingatan saya pada manusia-manusia kampret bernama mantan. Tatapan mata saya jauh, seperti sedang menunjukan betapa panjang kisah kelam yang saya alami. Bangsat!

Jika Didi Kempot dijuluki sebagai “God Father of Broken Heart” maka Bona Jemarut layak mendapat julukan yang sama.  Meskipun pada titik tertentu, Didi Kempot lebih besar dari pada Bona Jemarut. Jika Didi Kempot berjaya dan berhasil membuat semua pendengar jadi galau dengan lagu Ambyar, maka Bona Jemarut juga telah sukses membuat pendengarnya menjadi patah hati. Bayangkan, ketika Didi Kempot mengatakan sopo sing ra gelo, yen digawe kuciwo, ambyar (siapa yang tidak kecewa, kalau dibuat kecewa, hancur), yah memang harus hancur, bahkan berkeping-keping. Siapa pun manusia di planet ini pasti akan sakit hati ketika dibuat kecewa oleh orang yang ia cintai. Itulah Didi Kempot, Bapak Patah Hati.

“Tatapan mata saya jauh, seperti sedang menunjukan betapa panjang kisah kelam yang saya alami,”

Baca Juga: Dampak Pandemi Covid-19 Terhadap Pendidikan di Indonesia

Ada tiga hal mengapa saya berani menyandingkan Bona Jemarut dengan Didi Kempot. Pertama, karena wajah mereka mirip. Kedua, karena mereka sama-sama bergelut di dunia yang sama yaitu musik. Ketiga, karena lagu mereka sama-sama bercerita tentang patah hati dan miskin.

Dalam dunia musik, mereka adalah orang yang berbeda dan selalu mendapatkan tempat di hati para penimkmat musik. Orang boleh saja mengatakan, saya anak Punk, Rock, Rap, atau DJ. Tetapi dalam Galeri lagu mereka pasti terselip lagu dari Bona Jemarut atau Didi Kempot. Tidak mengoleksi lagu mereka seperti makan mie tanpa bumbu, rasanya hambar.

Orang-orang boleh datang dan pergi untuk berkarya (menciptakan dan menyanyi) namun Bona tetap setia dengan musik. Baginya musik adalah hidupnya.

Karya-karya yang dilahirkan begitu dekat dengan remaja yang patah hati. Bayangkan ketika Rensi Ambang dengan Reba Kota-nya, Adi Wangga dengan Malaysia-nya, Bona justru datang dengan Embong.

Ketika orang bercerita tentang hal-hal yang kekinian, Bona justru datang mewakili kaum-kaum tersiksa: miskin dan patah hati. Konem lengge ge ta weta, neka weong laing ta. Ca kali bengkes go enu neka reta laing ta. Ini salah satu penggalan lirik lagu Embong. Kita sering berada pada posisi ini, ketika cinta ditolak karena hanya karena kurang belis modal.

Foto : Kolase Ist

“Ketika orang bercerita tentang hal-hal yang kekinian, Bona justru datang mewakili kaum-kaum tersiksa: miskin dan patah hati,”

Baca Juga: Motang Rua

Ada momen-momen di mana saya merasa bahwa lagu Bona Jemarut memang diciptakan untuk saya, mewakili perasaan saya, dan dia menjadi sahabat saya. Sebuah kebetulan yang sangat diharapkan ketika kita menghadapi situasi sulit.

Aram hitu teing le mai ta, dari lirik ini kita bisa melihat bahwa pada keadaan tertentu, Bona mau menunjukan bahwa apa pun yang terjadi dalam dunia yang fana ini tidak terlepas dari rencana Tuhan. Dari Bona, kita bisa belajar bahwa mencintai tidak harus memiliki. Sehingga pada posisi ini kita sering mendengar kata-kata bijak dari kaum hawa, kalau memang tidak jodoh dan tak mau berpacaran jangan nyambung kalau kami ganggu.

Saya memang belum pernah bertemu lansung dengannya, namun melalui karyanya, saya yakin bahwa jauh sebelum saya mengenal patah hati, Bona telah merasakannya. Menceritakan tentang bagaimana seorang yang miskin jatuh cinta dan akhirnya sakit hati. Ini adalah tema yang sulit, tidak banyak yang bisa membuat tema ini menjadi menarik. Kita mesti ingat, begitu banyak orang yang karyanya membahas hal-hal seperti orang miskin yang jatuh cinta dan akhirnya harus sakit hati,  namun gagal merebut simpati penikmat seni (musik). Contohnya saja FTV.

“Dari Bona, kita bisa belajar bahwa mencintai tidak harus memiliki,”

Baca Juga: Penyesalan Mantan Mahasiswa Kupu-kupu

Namun Bona tetaplah Bona, untuk urutan musisi lokal (Manggarai) beliau bukanlah musisi yang energik saat menyanyi. Namun lagu-lagunya telah membuat kita mengenang masa lalu. Mendengar lagunya membuat kita seolah-olah menjadi manusia yang paling sedih atau Tuhan yang Tak Adil. Kita seolah merasa bahwa kita benar-benar sendiri. Tidak banyak musisi lokal yang karyanya di aransemen ulang oleh orang lain. Karya Bona tak pernah mati tetapi terus diperbaharui dengan warna suara yang berbeda-beda.

Bona telah berhasil pada posisi itu: lagu-lagunya tetap sendu dan enak didengar ketika sore hari, atau menjadi pisau ketika malam sebelumnya engaku menerima pesan singkat dengan kalimat: kaka, saya sudah anggap ite nara.

Pada akhirnya, Bona telah membawa kita pada sebuah imajinasi, sebuah cerita yang telah kita ciptakan dalam ingatan kita. Lagu-lagu dari Bona adalah sabda, sabda bagi kaum yang tersakiti. Pada titik tertentu, Bona telah mengajarkan kita bahwa pada akhirnya orang yang kita sayangi dengan membabi buta bisa menyakiti kita dengan cara yang tak terduga.*

Penulis : Arsy Juwandy*

Bagikan Artikel ini

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Google Analytics Stats

generated by GAINWP