Ngkiong.com – Setiap kelompok masyarakat selalu memiliki kebiasaan yang menjadi basis bagi proses terbentuknya suatu komunitas sosial. Hal ini pun, berdampak pada proses pembentukan cara berpikir dan berperilaku mereka, baik dalam lingkup yang sederhana maupun yang bersifat kompleks. Kebiasaan-kebiasaan tersebut biasanya dilakukan secara berulang dan terus menerus, yang kemudian mengikat anggota kelompok masyarakat tertentu secara menyeluruh. Bentuk-bentuk kebiasaan tersebut biasanya telah menjadi identitas khusus bagi suatu kelompok masyarakat yang kemudian menjadikannya pembeda dengan kelompok masyarakat lainnya. Meskipun begitu, masyarakat dibentuk karena berada dalam letak geografis atau memiliki bahasa yang sama.
Pada dasarnya, masyarakat dibentuk oleh individu. Individu tersebut kemudian membentuk suatu kelompok masyarakat yang biasanya memiliki kebutuhan yang beragam. Naluri dari setiap individu tersebut pun berbeda. Naluri dan kerja akal manusia kemudian mengharuskan setiap individu saling membutuhkan satu sama lain. Hal ini kemudian secara alamiah mengharuskan sekelompok masyarakat budaya tersebut membentuk kesepakatan sosial untuk saling melengkapi dengan menciptakan satu kebiasaan. Atau jika bertahan lama akan menjadi sebuah kekayaan yang akan diwariskan secara turun temurun.
Baca Juga: Ender Tin
Seiring perkembangan zaman, masyarakat selalu berproses dan mengalami dinamika serta perubahan secara terus menerus. Perubahan-perubahan yang terjadi telah banyak berdampak pada cara dan pola suatu kelompok masyarakat itu hidup dan berinteraksi dengan setiap elemen yang menjadikan perubahan itu terjadi. Perubahan-perubahan yang terjadi dalam suatu kelompok masyarakat pun selalu mengalami pasang naik dan surutnya. Hal itu tidak terlepas dari interaksi yang tiada henti baik karena gerakan sosial maupun perkembangan teknologi.
Orang Manggarai merupakan suatu kelompok masyarakat budaya yang juga memiliki kebiasaan-kebiasaan. Orang Manggarai tersebar di Flores Barat, Nusa Tenggara Timur (NTT). Salah satu kebiasaan yang cukup unik dalam kehidupan orang Manggarai dan telah lama membentuk pola perilaku orang Manggarai yaitu “dodo.”
Dodo merupakan cara masyarakat Manggarai mengimplementasikan filosofi gotong royong dalam bekerja. Misalnya, seorang petani A yang bekerja di lahan milik petani B akan dibalas jasanya oleh petani B ketika lahan si A digarap atau dikerjakan. Pada dasarnya, sistem yang diterapkan mengedapkan keadilan dan berangkat dari hasil sebuah kesepakatan bersama yang mesti dijalankan oleh setiap anggotanya.
Dodo, dalam konteks masyarakat tradisional Manggarai merupakan penanda yang mengikat sendi sosial dan budaya yang cukup kuat. Dodo menjadi bukti bahwa masyarakat Manggarai membangun satu budaya gotong royong yang lahir dari otonomi diri. Ia lahir dan eksis atas pembacaan yang kompleks terhadap kebutuhan manusia akan alamnya. Masyarakat membangun satu bentuk ketergantungan yang konstruktif terhadap sesama dalam bentuk dodo. Pada dasarnya tujuan ketergantungan itu untuk memudahkan pekerjaan serta berharap akan mendulang hasil yang cukup dengan memaksimalkan seluruh potensi yang ada. Selain itu, seperangkat kebisaan tersebut juga menjadi penunjang sehingga eksistensi masyarakat itu tetap ada.

Meskipun demikian, tidak bisa dimungkiri bahwa sistem pembayaran pada zaman dodo masih eksis belum menggunakan sistem pembayaran menggunakan uang kertas, serta perkembangan teknologi belum sepesat sekarang. Penulis melihat bentuk perubahan yang cukup signifikan dalam masyarakat sekarang terhadap keberadaan dodo. Jika diamati dalam kehidupan sehari-hari, keberadaan kebiasaan dodo mulai bergeser. Sistem pembayaran upah menggunakan uang kertas pelan-pelan namun cukup efektif menggeser eksistensi dodo dari kebiasaan masyarakat Manggarai.
Perubahan merupakan sesuatu yang pasti dan bersifat inheren dalam masyarakat. Di dalam proses perubahan itu sendiri terdapat benturan-benturan ringan, halus namun cukup terasa bagi seluruh aspek kehidupan masyarakat. Selain itu, perubahan cukup urgen bagi kualitas peradaban yang dilalui oleh setiap masyarakat termasuk orang Manggarai.
Perputaran uang kertas di era terbuka ini menjadi salah satu aspek penting mengapa orang Manggarai mulai pelan-pelan meninggalkan kebiasaan dodo. Kehadiran uang kertas dirasa oleh sebagian besar masyarakat sebagai alat tukar yang lebih kuat eksistensinya. Kemudahan yang ditawarkan oleh sistem pertukaran uang kertas kemudian membuat masyarakat masuk dan menjadi pelaku dari proses perubahan itu sendiri. Orang yang memiliki modal cukup akan memperkerjakan jasa orang lain dengan membayar upah kepada yang bersangkutan. Artinya, ia tak perlu bekerja lagi pada orang yang telah bekerja di lahannya. Ia cukup membayar dengan uang.
Baca Juga:Bagaimana Kita Bisa Menulis?
Selain itu, tidak bisa dimungkiri bahwa perkembangan teknologi telah menjadi hal penting lainnya yang menjadi alasan bergesernya kebiasaan dodo dalam masyarakat. Keberadaan teknologi telah mempermudah pekerjaan manusia dalam menggarap lahannya. Alat-alat di bidang pertanian seperti traktor, mesin rontok, mesin mengetam, dan sebagainya telah menjadi variabel yang mengganti dan mengeliminasi secara perlahan-lahan tenaga manusia dari usaha menggarap lahan.
Bahwasanya, kehadiran teknologi sebagai pengganti tenaga manusia dari segi efektivitas dan efisiensi sangat unggul, tetapi telah menjadi kebiasaan baru yang harus diterima secara kolektif. Pernah, seorang teman menceritakan, beberapa rombongan pekerja hampir penuh satu oto kolt yang ingin mengetam padi di Lembor, Manggarai Barat. Sesampainya di sana, tenaga mereka tidak digunakan sama sekali, sebab hampir sebagian besar pekerjaan sudah menggunakan mesin. Hal ini menjadi bukti kecil bahwa teknologi telah menjadi pengganti yang cukup kuat untuk memudahkan pekerjaan manusia.
Fenomena di atas juga berdampak pada nilai yang dianut masyarakat Manggarai terhadap sesamanya. Logisnya, kemudahan yang diperolah manusia akan berdampak pada ketergantungan dan kepercayaan seseorang terhadap sesama dalam mencapai tujuan. Kemudahan itu tentu menggeser nilai lama yang telah dibangun dan dihidupi masyarakat dalam bentuk dodo. Tetapi, penulis meyakini bahwa pergeseran nilai yang lahir dari perkembangan zaman tidak mereduksi nilai-nilai yang dianut masyarakat secara keseluruhan. Ia hanya bagian dari proses masyarakat untuk terus beradaptasi dengan zaman dan meningkatkan kualitasnya di tengah komunitas masyarakat global.*
Vian Agung*