Bunuh Diri dan Solusi Permasalahan

Bunuh Diri dan Solusi Permasalahan

Loading

Ngkiong.com – Ruang publik khususnya masyarakat Nusa Tenggara Timur acap kali dipadati oleh  berita seputar fenomena bunuh diri. Berdasarkan data WHO Global Health Estimates  2017, kematian  global tertinggi akibat bunuh diri terjadi di negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah, serta berpuncak di umur 20 tahun (Kompas, edisi Kamis, 10 Oktober 2019). Jelas terlihat bahwa usia remaja adalah usia rentan bunuh diri.

Menurut Wikipedia, bunuh diri dalam bahasa Inggris dikenal dengan sebutan suicide. Kata suicide berasal dari kata bahasa Latin, yaitu suicidium dari kata sui caedere yang berarti ” membunuh diri sendiri”. Dengan demikian bunuh diri adalah sebuah tindakkan sengaja yang mengakibatkan kematian bagi si pelaku. Tindakan bunuh diri dapat terjadi dalam ragam langgam seperti: menenggak racun, gantung diri, memotong urat nadi, mengonsumsi obat-obatan dalam dosis tinggi, dll.

Terdapat dua faktor utama yang melatarbelakangi praktik bunuh diri yakni faktor internal dan eksternal. Faktor internal merupakan faktor yang sangat privat dan eksklusif; artinya bertalian dengan kondisi psikis seseorang. Keadaan psikis yang terpasung oleh bermacam problem memicu pergolakkan batin hingga membuat seseorang terjebak dalam alur pikir yang buntu. Kebuntuan inilah yang membuat seorang nekat melakukan bunuh diri.

Dalam faktor eksternal, salah satu hal yang sangat memengaruhi praktik bunuh diri adalah perkembangan yang masif dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Pada konteks ini seseorang dituntut untuk selalu berinovasi dan mesti hidup sesuai dengan tuntutan yang ada. Jika berkaca pada realitas, persaingan di kalangan remaja dalam hal penguasaan dan kepemilikan barang-barang elektronik (media teknologi yang canggih) terjadi secara hiper kompetitif.

Baca Juga: Di Kampung Tal, Saya Belajar Bagaimana Bersyukur

Suatu hal yang tak dapat disangkal bahwa persaingan ini cenderung berdampak negatif. Para remaja akan selalu berikhtiar untuk berada pada posisi paling puncak dengan menetapkan tujuan hidup yang terkadang tidak realistis. Seorang remaja akan terganggu kesehatan psikisnya apabila tujuan yang diinginkannya tidak tercapai. Kesenjangan antara idealisme dan realitas dalam kepemilikinan barang elektornik membuat seorang remaja merasa diri kecil untuk bersaing dalam rimba modern. Akibatnya, remaja tersebut kerap merasa minder dan boleh jadi mengalami kecenderungan authopobia (takut akan diri sendiri).

Manusia merupakan makhluk yang berkhendak bebas. Kebebasan inilah yang menjadi salah satu faktor yang memengaruhi dinamika kehidupan manusia. Manusia bebas menentukan segala sesuatu, termasuk menentukan tujuan hidupnya.

Praksisnya, seseorang akan selalu menargetkan tujuan hidup yang dapat dikatakan terlampau ideal karena berada pada jalur yang berlainan dengan realitas yang terjadi. Kebebasan manusia dalam melakukan segala sesuatu sebagai upaya mengejar target kerap kali kandas apabila tujuan yang ditetapkan itu tidak realistis. Pada akhirnya, kegagalan mencapai target inilah yang memicu timbulnya berbagai problem kejiwaaan yang berujung tragis.

Paham kebebasan yang terdapat dalam diri manusia tentu bukanlah suatu kebebasan yang mutlak. Sesungguhnya seseorang tidak bebas dalam menentukan kematiannya sendiri. Seseorang dalam kondisi tertentu  acap kali salah menginterpretasi paham kebebasan dalam diri sehingga praktik bunuh diri menjadi semacam suatu keputusan yang benar yang lahir dari paham kebebasan diri yang salah  kaprah.

Bunuh Diri dan Solusi Permasalahan
Foto : Dokument Bisnis.com

Baca Juga: Nama Orang Manggarai

Bunuh Diri Sebagai Solusi Permasalahan?

Maraknya praktik bunuh diri selalu dilatarbelakangi oleh berbagai macam permasalahan baik itu masalah keluarga, masalah ekonomi, masalah percintaan, maupun problem kejiwaan yang tidak diketahui oleh orang lain. Yang jelas, melalui tindakan bunuh diri dan motif yang melatarbelakanginya, dengan jelas kita mengetahui bahwa korban menjadikan bunuh diri sebagai solusi atas permasalahan yang sedang dihadapinya.

Penulis termotivasi untuk meninjau fenomena bunuh diri dari perspektif moral Katolik, yakni dengan menjadikan beberapa artikel dalam Katekismus Gereja Katolik (KGK art. 2281 dan art. 2325) sebagai dasar pembuktian. Mengutip Katekismus Gereja Katolik (KGK) artikel 2281, ‘

“Bunuh diri bertentangan dengan kecondongan kodrati manusia supaya memelihara dan mempertahankan kehidupan. Itu adalah pelanggaran berat terhadap cinta diri yang benar. Bunuh diri juga melanggar cinta kepada sesama, karena merusak ikatan solidaritas dengan keluarga, dengan bangsa, dan dengan umat manusia, kepada siapa kita selalu mempunyai kewajiban. Akhirnya bunuh diri bertentangan dengan cinta kepada Allah yang hidup.”

Secara eksplisit, artikel ini menegaskan bahwa bunuh diri merupakan suatu tindakan yang bertentangan dengan kecondongan kodrati manusia untuk memelihara dan mempertahankan kehidupan. Bunuh diri juga merupakan pelanggaran berat terhadap cinta diri yang benar. Dengan demikian, artikel ini mutlak menganggap tindakan bunuh diri sebagai suatu pelanggaran fatal yang mesti dihindari oleh seluruh manusia, lebih khusus oleh orang-orang Katolik.

Dalam artikel lain, sebut saja Katekismus Gereja Katolik (KGK) artikel 2325, ditegaskan bahwa tindakan bunuh diri merupakan suatu pelanggaran berat terhadap keadilan, harapan, dan cinta kasih. Sama halnya dengan KGK artikel 2281, artikel ini juga mutlak menganggap bunuh diri sebagai suatu pelanggaran berat yang sungguh bertentangan dengan kehendak Illahi.

Berdasarkan kedua artikel tersebut, jelas bahwa bunuh diri merupakan suatu pelanggaran berat. Bunuh diri mesti dihindari oleh setiap individu khususnya orang-orang Katolik. Bunuh diri bukanlah solusi atas permasalahan dan anggapan bahwa bunuh diri adalah ‘jalan pintas’ untuk keluar dari suatu permasalahan sungguh merupakan kesadaran keliru yang akan berakibat fatal.

Baca Juga: Kentut-kentut Orang Idealis Bagian Kedua

Parenting: Model Tindakan Preventif

Pentingnya pemulihan ketahanan jiwa remaja mesti disadari oleh semua elemen, baik keluarga maupun elemen sosial lainnya. Kesadaran ini mampu menjadi stimulus yang melahirkan tindakan pencegahan dan pemulihan ketahanan jiwa remaja. Remaja mesti dibekali oleh berbagai macam hal demi memberikan elan vital (energi hidup) yang baru dan yang kiranya lebih menggairahkan. Elan vital ini dapat berupa tindakan preventif yang mampu merestorasi tata laku dan pola pikir remaja.

Menurut Kompas edisi Kamis, 10 Oktober 2019, salah satu model tindakan preventif adalah dengan melakukan pembenahan pola asuh (parenting). Pola asuh (parenting) merupakan proses yang mencakup memelihara atau mengasuh, melindungi dan mengarahkan pada sebuah kehidupan yang baru seiring proses tumbuh kembang anak; dan menyediakan sumber daya untuk memenuhi kebutuhan dasar cinta, perhatian  dan nilai-nilai. Konstitusi negara mengenai pola asuh ini termuat dalam UU No 18 Tahun 2018 tentang Kesehatan Jiwa.

Tindakan preventif berupa pembenahan pola asuh (parenting) menuntut implikasi penuh dari orang tua dan pihak keluarga. Orang tua dan keluarga harus mampu memelihara, melindungi dan mengarahkan serta menyediakan sumber daya untuk memenuhi kebutuhan dasar cinta, perhatian dan nilai-nilai. Apabila orang tua dan pihak keluarga mampu melakoni perannya dengan baik dan benar, maka ketahanan jiwa anak akan terbentuk seiring pertumbuhan dan perkembangannya.

James Gardener, psikolog asal Amerika melalui bukunya yang berjudul “Memahami Gejolak Masa Remaja” memberi pembenaran bahwa pola asuh (parenting) sunguh-sungguh berpengaruh terhadap karakter seseorang (remaja). Beliau menulis buku tersebut berdasarkan pengalamannya selama menangani ratusan kasus seputar remaja dan perkembangannya, entah itu kasus bunuh diri maupun kasus  lain seperti pergaulan bebas dan narkoba.

Baca Juga: Kentut-kentut Orang Idealis Bagian Pertama

James Gardener menyebut masa remaja sebagai masa ‘krisis identitas’. Pada masa ini, seorang remaja tengah berupaya mencari dan menemukan identitas atau jati dirinya. Dalam upaya mencari dan menemukan identitas tersebut, seorang remaja membutuhkan dukungan yang besar dari orang tua dan lingkungan. Orang tua pada masa krisis identitas mesti selalu mendukung seluk beluk kehidupan remaja dan bukan membatasi ruang geraknya. Dukungan tersebut dapat diwujudnyatakan dengan cara memberikan dan menyediakan segala sesuatu yang dibutuhkan remaja.

Setiap kita tentu akan dan pernah mengalami masa remaja. Sejurus dengan Gardener, masa remaja merupakan masa krisis identitas di mana remaja akan berupaya untuk menemukan identitas atau jati diri yang sebenarnya. Jawaban atas pertanyaan ‘siapakah aku?’ berusaha dikonstruksi pada masa ini. Oleh karena itu, masa remaja dapat juga diartikan sebagai suatu tahap transisi menuju masa dewasa. Problem seputar remaja bukan merupakan hal yang sporadis sebab terjadi secara terus-menerus dan akan dialami oleh semua orang sebagai bagian dari tahap pertumbuhan dan perkembangan diri.

Pada era perkembangan informasi dan komunikasi yang kompleks seperti yang terjadi saat ini, seseorang yang berada pada masa remaja akan dihadapkan  pada realitas yang serba modern. Realitas ini menuntut remaja untuk selalu berinovasi dan bersaing secara hiper-kompetitif. Keluarga menjadi elemen yang berperan penting dengan membantu remaja dalam menyikapi realitas ini secara positif. Lakon keluarga yang baik mampu mencegah beberapa kemungkinan negatif yang sangat boleh terjadi, seperti aksi bunuh diri.*

Oleh: Aprianus Defal Deriano Bagung, Penulis adalah Siswa Kelas XI SMA Seminari Pius XII Kisol

Bagikan Artikel ini

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Google Analytics Stats

generated by GAINWP