Kelas Maria

Kelas Maria
Foto_ Ilutrasi istockphoto

Loading

Ngkiong.com – Masa sekolah merupakan fase terpenting bagi sesorang anak untuk  menemukan banyak hal, baik yang berkesan maupun yang tidak menyenangkan. Selain itu, kita juga kadang bertemu dengan beberapa pola yang sekarang mungkin kita sadari bahwa ada momen tertentu pada saat sekolah bisa dilihat kembali sebagai sesuatu yang aneh, unik, menarik, atau justru berbahaya yang kemudian memberikan pelajaran bagi kita di saat dewasa.

Dalam dunia pendidikan (sekolah), pasti kita akan dimasukan ke dalam rombongan belajar atau kelas. Hal ini tentu bertujuan agar memudahkan kita dalam proses pembelajaran. Guru juga dimudahkan dalam melaksanakan tugasnya sebagai pengajar dan pendidik. Dengan demikian, proses pembelajaran bisa dilaksanakan sesuai tujuan pembelajaran.

Di sekolah tertentu, pembagian rombongan belajar (kelas) biasanya diurutkan sesuai dengan abjad. Untuk peserta didik yang namanya berawal huruf a pasti ditempatkan di kelas A dan seterusnya sampai abjad Y yang biasanya akan ditempatkan kelas akhir. Misalnya siswa atas nama Anastasia akan berada di kelas A, sedangkan siswa atas nama Yohanes, Yeheskiel atau Yudas pasti berada di kelas akhir (E atau F)-tergantung jumlah siswa di sekolah itu.

Pembagian model begini kebanyakan terjadi pada jenjang sekolah menengah pertama (SMP). Karena telah kita ketahui bersama, saat SMA para peserta didik sudah dibagi ke dalam penjurusan.

Salah satu hal menarik dari pembagian rombel berdasarkan abjad ini adalah munculnya kelas atau rombel  yang sering disebut kelas Maria. Alasannya adalah 80 persen peserta didik di kelas ini adalah siswi yang memiliki nama Maria, meskipun diselingi siswa atas nama Marianus. Ada juga siswa selain nama Maria, misalnya Monika, Miska, Marta dan abjaf M lainnya. Tetapi abjad M selain Maria  itu munculnya pun kadang-kadang. Hal yang pasti adalah Maria menjadi mayoritas.

Saya, dengan nama yang berabjad awal O dimasukkan ke dalam kelas ini yang diikuti abjad P, di antaranya dua orang siswa bernama Paulus, berada di nomor bontot di presensi ketua kelas dan para guru. Jumlah siswa laki-laki di kelas kami, kalau tidak salah ingat berjumlah sepuluh orang. Lebih tepatnya lagi, kami berada di kelas VIII C. Saat itu masih disebut kelas dua C.

Hal menarik dari kelas Maria ini yaitu kita bisa kebagian jajan cukup banyak saat jam istirahat berlangsung. Hal lainnya juga yaitu, kelas Maria disenangi guru-guru karena situasi kelas yang cukup kondusif. Meskipun, kadang siwi saok juga  bermunculan saat guru tidak masuk kelas. Atau, ketika kerja kelompok, kita kadang dimudahkan dalam proses dan penyelesaian pekerjaan. Sementara di sisi lain, keaktifan kelompok menjadi mutlak dimiliki.

Baca juga:Pesan untuk Penggemar Ronaldo dan Messi

Akan tetapi, di lain hal ketika pertandingan bola sepak antar kelas, kami sering kekurangan personil. Itu pun dari sepuluh orang teman-teman ini, hanya tiga orang yang memiliki skill dan keterampilan mengolah si kulit bundar di atas rata-rata. Mereka bertigalah yang selalu menghandle salah pasing kami, umpan tidak akurat, serta menanggung segala beban tim.

Alhasil, kami harus memungut si kulit bundar lebih banyak di setiap pertandingan. Bahkan pernah sampai angka selusin.  Meskipun kami kelebihan dukungan berupa teriakan  penonton, tetapi itu tidaklah cukup.

 Hal itu mungkin lahir dari sebuah alasan dan sebab, saya dan beberapa teman tadi saat jam olahraga sore lebih suka mencuci baju di asrama ketimbang lari-lari di lapangan bola, atau memang kita terlahir dan ditakdirkan hanya untuk menjadi penonton saja.

Kadang-kadang, kami makan mie ta’a (mentah). Selain itu, di sela-sela aktivitas sekolah dan asrama, kami juga kadang pergi ke luar (kompleks) untuk sekadar beli sebombon (permen/gula).

Baca juga:Membonceng dan Diboncengi

Untungnya, ketika naik ke kelas IX, kelasnya tidak seperti sebelumnya. Hal ini bisa menutupi kelemahan kami yang kurang lihai bermain bola. Sebab kelas yang baru ini, sebagian besar pemain inti di sekolah ada di kelas kami. Hal sebaliknya terjadi, ketika kegiatan pekan ekstrakurikuler, kami menjadi kelas raja gol.

Kelas Maria ini juga saya temukan di salah satu kelas tempat saya bekerja sekarang. Kelas ini cukup ramah bagi mayoritas guru. Saya tidak bermaksud mengiris-iris pembaca dalam garis demarkasi tentang gender. Tetapi, saya melihat realitanya seperti itu. Saya pikir, tulisan ini hanya sebuah nostalgia. Masih ada juga kelas Rofinus atau Anselmus yang memiliki cerita lebih unik lagi. 

Penulis: Vian Agung, Redaktur Ngkiong

Bagikan Artikel ini

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Google Analytics Stats

generated by GAINWP