Ngkiong.com-Pesta di Manggarai, khususnya di kampung-kampung, sekarang tidak cukup kalau hanya modal hadir saja untuk melayani undangan dari tuan pesta. Tidak cukup hanya modal tampil neces dan bawa amplop. Ada hal lain yang perlu kita bawa, yakni lirik lagu. Setidaknya kita bawa satu lirik lagu lawas atau lagu daerah supaya bisa ikut nyanyi untuk ramaikan pesta. Kalau tidak, ae keha neka rabo, kau akan dianggap kalah saing dengan orang-orang di kampung.
Apalagi kalau kau dipanggil “guru” oleh mereka. Sudah dipanggil guru, datang dari kota lagi. Percayalah, kau baru masuk kema, MC sudah sebut-sebut kau pu nama untuk jadi penyumbang lagu. Kalau tidak kau layani undangan dari MC untuk nyanyi, ini yang akan kau dengar: ole ema, meu ata kota kala kaut le ghami ata beo (kalian orang kota kalah oleh kami yang di kampung). Jelas malu kita yang mereka panggil tuang guru ini e.
Tentang tuang guru. Kalau dinomor urutkan, tuang guru berada di nomor tiga, setelah pastor dan kepala desa yang diutamakan untuk nyanyi. Dengan catatan, sebagai tuang guru kau adalah tokoh yang cukup berpengaruh dalam kampung. Namun, kalau tuang guru yang datang dari kota sudah pasti dapat panggung. Kekuatannya adalah label “dari kota”, tetapi kalau tidak mampu memenuhi mereka punya permintaan untuk nyanyi, itu tadi, kau akan dianggap kalah bersaing. Bahwa suara bagus atau jelek adalah urutan kesekian, namun ketika dipanggil kau harus bisa menjawab tantangan itu.
Ini adalah pengalaman saya ketika mengikuti pesta Sambut Baru di kampung di wilayah Manggarai Timur. Saya sudah dianggap kalah saing. Persoalannya bukan karena saya malu suara saya jelek–toh suara mereka juga jelek-jelek–, tapi liriknya tidak saya hafal. Saya tahu lagunya tapi tidak hafal liriknya. Saya hanya hafal lirik-lirik lagu pop zaman sekarang, tapi tidak mungkin juga toh saya nyanyi “Untuk Perempuan yang Sedang dalam Pelukan” dari Payung Teduh, “Anugerah Terindah yang Pernah Kumiliki” dari Sheila On 7, “Fana Merah Jambu” dari Fourtwnty, atau “Kasih Putih” dari Glenn Fredly. Belum lagi lagu-lagu bahasa Inggris yang bikin kepala pening.
Baca juga: Serundeng, Kuliner Bintang yang Kalah Bersinar
Lagu-lagu yang biasa dinyanyikan saat pesta di Manggarai, seperti sambut baru, pesta sekolah, kumpul kope, ya lagu-lagu lawas atau lagu-lagu pop daerah. Memang lagu-lagu itu yang cocok untuk dinyanyikan pada momen pesta seperti itu.
Setelah dianggap kalah saing, saya pun mulai mendengarkan dan menghafal beberapa lagu lawas dan lagu pop daerah Manggarai yang saya suka. Kemudian memberanikan diri tunjuk skill di pesta-pesta syukuran di kompleks. Puji Tuhan, mereka bilang sa pu suara seperti bunyi gelas berbenturan di baskom cuci piring: nyaring.
Awal November kemarin saya kembali ikut pesta Sambut Baru keluarga di kampung di Manggarai Timur. Saya ingin buktikan kalau kali ini saya tidak kalah saing. Sebelum berangkat saya telah siapkan beberapa lirik lagu lawas dan lagu pop daerah Manggarai yang saya screenshot dari google. Namun, kenyataannya kali ini saya bukan lagi kalah saing, melainkan tidak mendapatkan kesempatan untuk nyanyi. Kenapa? Ini persoalannya:
Baca juga: Lalong Liba; Kenangan, Pertarungan, dan Air Mata
Pertama, lagu-lagu yang saya siapkan, selalu saja sudah dinyanyikan oleh mereka yang lebih dulu. Ada tiga lagu yang telah saya siapkan: “Tak Ingin Sendiri” dari Pance Pondang, “Embong 2” dari Bona Jemarut, dan “Molas Momang” dari Rian Parus. Ole, siapa yang tidak tahu tiga lagu itu. Terpaksa saya harus ke tempat yang ada sinyal untuk searcing lirik lagu lalu di-sreenshot. Eh, pas kembali ke kema, padahal tuang kepala sekolah masih nyanyikan lagu itu. Sudahlah!
Kedua, status anak rona dan anak wina juga memperpanjang waktu antri saya untuk nyanyi. Ada 20 anak rona dan 30 anak wina. Mereka semua diberi kesempatan oleh MC untuk nyanyi. Mungkin satu dua orang saja yang tolak untuk nyanyi. Yang lain bersedia, memang siap, dan bahkan mengajukan diri. Bayangkan! tiap-tiap mereka menyanyikan paling kurang dua lagu. Ole, kalau 50 orang itu semuanya ikut sumbang lagu, kapan kau punya giliran? Mari kita berhitung! Kita beri standar bahwa lama waktu tiap lagu minimal 5 menit. 5 x 2= 10, berarti 10 × 50= 500. Jadi, kau harus menunggu selama 500 menit atau 8 jam 20 menit.
Ketiga, orang-orang yang datang belakangan. Pas situasi su enak, kau coba mengajukan diri untuk nyanyi, tapi tiba-tiba tuang pastor dan tuang kepala desa baru datang. Ae, jangan harap kau diberi kesempatan. MC tu langsung sambut mereka dengan ramah dan bilang: ae mantap ini su bintang-bintang panggung. Mereka juga tidak tolak, misalnya karena mau makan dulu, ini tidak, mereka langsung ke pemain keyboard untuk kasih tahu lagu apa dan kunci apa. Total empat lagu. Kita tarik nafas panjang-panjang su. Maka mereka pu kata-kata andalan untuk jadi tameng: maaf suara saya jelek, jadi nikmati saja liriknya jangan suaranya.
Keempat, kehadiran orang-orang yang suka lagu Nenggo. Saya cerita satu pengalaman sedikit saja. Saya pernah naik bemo dari Ruteng ke Cancar. Waktu bemo keluar dari Pasifik, sopir putar lagu Nenggo. Sepanjang perjalanan kami nikmati itu lagu Nenggo dan satu lagu Nenggo baru selesai saat kami tiba di Rai. Bayangkan! Satu lagu Nenggo, baru selesai pas di Rai. Nah, dia yang request lagu Nenggo ni, seleranya juga tidak main-main. Dia mau nyanyikan dua lagu Nenggo. Ole keha, kapan selesainya e. Apalagi kalau dia su mabuk sopi, jangan harap kasih di orang lain itu mike.
Kelima, kehadiran mereka-mereka yang suka klaim kalau ada lagu-lagu tertentu mereka yang punya. Dengan bangga mereka umumkan “jangan nyanyi lagu ini e, itu saya punya”. Sementara, hanya itu lagu yang kau tahu. Lebih parah, kau baru saja mulai nyanyi, mereka su rebut mike dan bilang “itu saya punya lagu, saya yang nyanyi, lebih mantap”. Kau baru nyanyikan lirik “mane tana laseng...” dari lagu Embong 2 Bona Jemarut, mereka su “wentang” itu mike dari kau punya tangan. Ta biar saja, banyak-banyak tarik nafas saja. Mereka orang tua, kita harus mengalah.
Baca juga: Berkorban untuk Nonton Televisi: Sebuah Studi Nostalgia Masa Kecil
Tibalah saatnya untuk kau menyanyi, pukul 11.00 malam, tapi saat itu pemain keyboard bilang “cukup dulu e, cape e“. Dari awal kau su dituntut untuk sabar, tapi kali ini kau juga dituntut untuk mengerti. Sudahlah!
Omong punya omong, pesta di kampung sekarang mengalami kemajuan. Sudah tidak kalah saing dengan pesta di kota. Dulu saat ada pesta, seperti Sambut Baru atau kumpul kope atau pesta sekolah, masih jarang orang-orang menggunakan musik. Yang ada nyanyi rame-rame (Nenggo) tanpa musik. Sekarang, tiap-tiap pesta menyediakan musik, seperti sedang berkompetisi. Musik datang dari segala penjuru. Yang punya modal lebih tinggal bayar band dan jasa pemain musik, sedangkan yang hanya berkecukupan bisa streaming di YouTube supaya bisa karaoke sama-sama. Tidak apa-apa nyanyi macet-macet karena jaringan kurang bagus, yang penting pesta jadi rameh. Untuk atasi itu, bisa ke kota dulu, supaya download lagu-lagu karaoke. Acara bebas kini sepi peminat, di pesta para undangan rela mengantri supaya bisa sumbang lagu. Nyanyi lebih bergengsi daripada goyang patah-patah.
Dari kaleidoskop ini, kehadiran pemain keybord sebagai salah satu pahlawan untuk meramaikan pesta adalah sesuatu yang tidak dapat kita pungkiri. Bukan sekadar penghibur, mereka rela duduk hampir 2 × 24 jam untuk memenuhi selera tuan pesta dan para undangan. Sementara itu, jari-jari tak berhenti menekan tuts-tuts piano; otak tak berhenti berpikir untuk menemukan kunci yang pas bagi mereka yang bakatnya nyanyinya rendah, sedangkan bakat naik panggung terlalu tinggi; dan pinggang terus memaksa untuk menahan tubuh.
Entahlah, kalian dibayar berapa, atau mungkin hanya dengan sebotol tuak. Saya hanya mau bilang: semangat pemain keybord, lain kali ajak juga teman yang bisa main keybord, supaya tidak terlalu capeh. Supaya tidak pura-pura ke toilet lagi untuk buang air, padahal mau senam jari dan senam pinggang. Jangan ajak penyanyi, nanti dia kecewa tidak ada kesempatan untuk nyanyi.
Oleh Opin Sanjaya, Redaktur Ngkiong
Rino Suharto
10/12/2021 at 8:33 pmKeren kerennn….👍👍👍