Flu Babi dan Kacaunya Perasaan Kami

Flu Babi dan Kacaunya Perasaan Kami

Loading

Ngkiong.com-Ruteng; selain sebagai sebuah kota dengan seribu gereja dan seribu tenda labu, ia juga merupakan sebuah kota dengan beribu kandang babi. Sebagian besar orang di Ruteng memelihara babi. Tiap keluarga biasanya memelihara dua sampai lima ekor babi; bahkan ada yang sampai belasan ekor atau lebih. Wilayah-wilayah lain di NTT pun demikian.

Menurut Om Yuval Noah Harari dalam buku Sapiens halaman 112, di dunia terdapat sekitar satu miliar babi. Di samping itu babi menjadi kelompok mamalia terbesar ketiga di dunia dalam hal persebaran setelah sapiens dan sapi. Jika pembaca merasa tertarik untuk melihat data statistik ternak babi dalam konteks masyarakat NTT pada kurun waktu tahun 2004 sampai 2018, silakan klik di sini.

Dalam masyarakat Manggarai, babi memiliki peranan yang sangat sentral baik dalam konteks budaya maupun konteks ekonomi. Dalam konteks budaya, babi merupakan ujung tombak dalam berbagai keperluan adat. Di upacara masuk minta misalnya; selain sebagai menu acara, sekian ekor babi biasanya dijadikan sebagai bagian dari belis (mahar kawin).

Baca juga: Kibar Merah Putih di Tangan Nong Kesik

Saat menghadap inang amang (mertua), tidak cukup kalau seorang lelaki hanya membawa puisi atau kutipan lirik lagunya Padi dan Dewa; seperti yang selalu kau kirim ke WA-nya itu enu ka. Tidak peduli kau tampan dan berkarisma macam David Beckham, Andrew Garfield, John Mayer, Ariel Noah, atau Lee Min Hoo, kau harus tetap bawa babi; ingat itu nana!

Dalam konteks ekonomi, babi merupakan salah satu ternak yang menopang perekonomian masyarakat. Dengan memelihara babi, kita bisa menghasilkan uang yang dapat digunakan untuk berbagai keperluan: wale sida, membeli berbagai kebutuhan keluarga, atau pun membayar uang sekolah. Banyak anak Manggarai yang bisa menyelesaikan studi karena orang tuanya rajin memelihara babi. Saya adalah satu di antara sekian banyak orang dari golongan tersebut.

Belakangan, wabah kematian babi melanda pulau Flores. Dari sejumlah media diketahui kematian babi disebabkan oleh dua hal yakni: virus ASF (African Swine Fever) atau virus Afrika dan bakteri streptococcus. Tingkat kematian akibat dari virus Afrika mencapai 100 persen; sementara bakteri streptococcus mencapai 30 persen.  Mendapati kematian babi yang terus meningkat, perasaan kami kian kacau.

Baca juga: Kentut-Kentut Orang Idealis Bagian Ketiga

Di tengah pandemi dengan segala perasaannya yang tidak menentu; jelas ancaman ini sangat menjengkelkan plus menakutkan. Ancaman bagi kehidupan babi berarti ancaman kultural dan ancaman ekonomi bagi kehidupan kami. Ahh,, betapa rapuhnya babi-babi dan kami.

Di Waso, sahabat baik saya Waik kehilangan empat ekor babi. Dua di antaranya dilelang murah ke mbaru potong; hanya seharga dua juta. Kalau mau omong profit, jelas ini rugi banyak. Untuk sekadar balik setengah dari modal anakannya saja, sangat tidak cukup. Tapi apa mau dikata, begitulah duka yang dialami sahabat saya.

Hal yang sama juga terjadi di Kembur, beberapa bulan lalu Adik Julio kehilangan tiga ekor babi. Sekian juta yang menjadi bagian dari usaha mereka menguap. Sementara itu, salah satu tetangga mereka kehilangan belasan ekor babi (kalau tidak salah 15). Mereka mengalami kerugian mencapai puluhan juta rupiah.

Baca juga: Bunuh Diri dan Solusi Permasalahan

Tanpa harus saya uraikan lebih jauh, berita dan angka kematian babi bisa pembaca lihat sendiri pada berbagai media online. Untuk wilayah Manggarai Raya misalnya, tinggal ketik saja di Google: ‘angka kematian babi di Manggarai’, nanti akan muncul banyak artikel, dari yang cara penulisannya bagus sampai yang cara penulisannya bikin putus asa. Soal kerugian ekonomi akibat kematian babi, pembaca juga bisa melihat sendiri di Google.

Salah satu alternatif yang biasa digunakan dalam situasi ini (babi yang terserang penyakit) ialah julu. Kalo babi terkena sakit, malas makan, tubuhnya lemah, dan lebih dari 90 persen dianggap tidak akan tertolong, orang Manggarai menggunakan sistem julu.

Julu merupakan wujud empati sesama peternak babi. Melalui julu kita bisa menyelamatkan sedikit modal; entah itu hitungan harga anakan babi, kayu bakar, dedak, biaya kebiri, biaya obat babi, dan lain sebagainya.

Meski demikian, julu juga tidak selalu bisa membantu. Kalau di satu kompleks ada belasan babi tetangga yang sakit, siapa punya uang yang kuat untuk tada semua itu julu? Sekarang lagi pandemi; kita dipaksa untuk mengencangkan ikat pinggang dan membatasi jenis-jenis perbelanjaan karena minimnya pendapatan.

Maka dari itu, hal terakhir yang mau tidak mau harus diterima ialah merawat dengan pasrah. Beberapa ekor babi biasanya akan dirawat dengan teknik seadanya menggunakan nona mas, minyak kelapa, minyak cengkeh, atau tumbuh-tumbuhan yang dipercaya punya khasiat menyembuhkan, atau mandi air hangat dan dijemur; sampai akhirnya mereka sembuh atau mati.

Baca juga: Nama Orang Manggarai

Pada peternakan skala besar, biasanya babi terpaksa dilepas dengan harga yang sangat rendah. Toh, pihak-pihak yang membeli a.k.a orang-orang dari mbaru potong juga tidak mau mengambil resiko sebab daya beli masyarakat sedang menurun. Pandemi mengharuskan kita membatasi segala jenis acara sehingga kebutuhan akan daging babi juga menurun drastis.

Pada kasus lain, untuk beberapa situasi ekstrem pada peternakan skala besar, orang akan kasi babi yang sakit ke pihak lain secara cuma-cuma. Peternak berpikir: toh, kalau nanti itu belasan atau puluhan babi mati, siapa yang mau susah-susah gali lubang untuk kuburnya? Sewa orang untuk gali lubang kubur juga butuh biayakan? Lebih baik kasi percuma babi yang sakit ke orang-orang yang mau mengelolahnya.; daripada sudah hangus modal, harus buang modal lagi untuk gali lubang kubur.

Keberadaan pandemi dan virus babi dalam seketika membuka mata kita tentang pentingnya babi-babi yang kita pelihara. Saat daya jual babi menurun dan tingkat kematiannya meningkat, kita kemudian memandang babi dengan perasaan yang mengharu biru. Pada titik ini kita pun jadi tersadar betapa seringnya kita lupa berterima kasih pada babi yang dengan caranya telah memberikan kita penghidupan dan tiket restu dari inang amang.

Alih-alih berterima kasih, isu dan diskusi lepas tentang babi kemudian membuat kita tersadar; betapa dalam kehidupan sehari-hari, kita terlampau sering mengasosiasikan orang yang bersalah dengan babi padahal kaum babi tidak bersalah dan dalam banyak hal mereka adalah malaikat.

Flu Babi dan Kacaunya Perasaan Kami
Foto : Dok Kanal Kalimantan

Baca juga: Saung Ndusuk dan Betong; Riwayatmu Kini

Orang senggol sedikit di pasar langsung bilang: ‘dasar babi!’, tetangga tidak sengaja kasi pecah piring yang dipinjam pas pesta langsung mengumpat: ‘Tama laing ela!’, murid ribut sedikit pas les langsung bentak: ‘Babi dari mana yang bersuara tu!?’, dan lain sebagainya. Kita-kita ini; sudah tidak tahu berterima kasih dengan babi, salahkan babi lagi.

Babi seolah-olah adalah representasi buruk, padahal salah satu faktor kita bisa menyusun SPOK adalah babi. Piara babi dapat ijazah.

Badewei, karena tingkat kematian virus Afrika mencapai 100 persen, maka satu-satunya langkah yang bisa kita lakukan ialah pencegahan. Salah satunya ialah dengan menjaga kebersihan kandang babi. Sesering mungkin bersihkan kandangnya dengan detergen.

Baca juga: Dodo yang Kian Dilupakan

Selain itu, katanya sisa-sisa makanan terutama dari air hasil membersihkan daging babi yang dimasak tidak boleh dijadikan makanan bagi babi-babi yang masih sehat. Diap virus dari daging babi bisa melekat di air dan kalau kita kasi sebagai makanannya babi yang sehat, nanti mereka bisa sakit to?

Akhir kata, sebelum tulisan ini menjadi kian tak berarah; sambil berharap om, tanta, dan kaka-kaka di laboratorium bisa segera menemukan vaksin virus Afrika, tetaplah jaga kesehatan dan patuhi protokol kesehatan! Karena akan percuma jadinya bila babi-babinya kau sehat tapi kau tergeletak tak berdaya karena sakit dan covid!*

Penulis : Ichan Lagur

Bagikan Artikel ini

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Google Analytics Stats

generated by GAINWP